Kisah-kisah Muhammad yang Tidak Diceritakan Sebelumnya (Bagian 1)

Oleh: Mohammad Asghar

Bagian Satu

Dijaman dulu kala, sebuah tempat kecil ditengah semenanjung Arab, menjadi titik pusat hijrah kaum Bedouin penyembah berhala dari gurun pasir. Disanalah berdiri rumah tuhan yang juga dikenal sebagai Kabah, beserta sebuah sumur, yang oleh kaum berhala disebut Zam-zam, yang membantu mereka menghilangkan haus.

Kaum berhala ini sangat religius. Mereka berpegangan erat pada pandangan bahwa ada tuhan yang melindungi setiap aspek dari kehidupan mereka. Karena itu, mereka percaya bahwa ada tuhan yang memberi mereka kehidupan. Mereka juga percaya bahwa tuhan yang sama memberi mereka makanan dan melindungi mereka dari hal-hal yang membahayakan hidup mereka. Mereka juga percaya bahwa ada tuhan-tuhan lain yang menjatuhkan air dari langit dan yang memberikan mereka kemenangan dalam peperangan.

Ada sebuah suku yang disebut Quraish, diantara kaum berhala ini, yang pandai dan giat berusaha. Para anggotanya lebih suka menetap daripada menjalani kehidupan nomad/berpindah-pindah.

Dengan mengambil keuntungan dari ketaatan  suku-suku Bedouin religius lainnya yang tidak suka menetap, anggota dari suku Quraish ini menetap di Mekah, disekitar Rumah Tuhan dan sumur Zam-zam, dengan tujuan untuk melayani keperluan religius dari saudara-saudara mereka baik yang nomad maupun yang menetap ditempat lain. Diluar dan didalam Rumah tuhan itu mereka pasangi 360 patung, yang semuanya dipuja dan dimuliakan oleh kaum berhala.

Lama kelamaan, titik pusat ini dikenal sebagai Bakka (Quran 3:96) dan kemudian dikenal sebagai Mekah. Suku Quraish adalah penghuni aslinya, mengingat fakta bahwa suku merekalah yang memiliki kontrol atas pengawasan dan ritual religius dari rumah tuhan tersebut.

Anggota-anggota dari suku Quraish terdiri dari tiga kelompok. Satu adalah kelompok pendeta, yang mengontrol rumah Tuhan dan mendapatkan pemasukan dari para peziarah.

Kelompok kedua terdiri dari sejumlah kecil orang Quraish yang melakukan perdagangan. Kelompok ketiga adalah yang paling besar, dan terdiri dari mereka yang menopang hidupnya dengan menyediakan air dan pelayanan-pelayanan lain bagi para peziarah. jenis-jenis pekerjaan ini tidak menjamin pemasukan yang tetap bagi mereka; ketika mereka menerima peziarah dalam jumlah yang banyak, mereka mendapat pemasukan yang besar, tapi ketika jumlah peziarah kecil pendapatan merekapun kecil. orang-orang ini seperti pekerja zaman kita sekarang; mereka dibayar kalau ada pekerjaan.

Lebih dari 1400 tahun yang lalu, tinggal di Mekah seorang laki-laki bernama Abdullah. Dia termasuk kelompok ketiga dari kaum Quraish. Istrinya bernama Aminah. Karena dia tidak mempunyai pendapatan yang tetap, keuangan rumah tangganya selalu kempas kempis. Seringkali keduanya harus tidur tanpa makan. Kemiskinan yang terus menerus akhirnya sampai pada puncaknya, mereka sering bertengkar dan bertengkar mengenai kondisi keuangan mereka dan juga mengenai masa depan mereka.

Sadar akan fakta bahwa dia dan suaminya tidak punya cara untuk mengisi perut, Aminah selalu memaksakan suaminya untuk berejakulasi diluar rahimnya. Praktek ini menolongnya menghindari kehamilan untuk beberapa waktu, tapi satu malam Abdullah kebablasan dan Aminah akhirnya hamil. Aminah sangat murka, dia mencoba dengan semampunya untuk menghancurkan janinnya, tapi selalu gagal.

Tidak mampu melakukan dengan cara lain lagi, akhirnya dia menyerah pada takdir dan memutuskan untuk melahirkan bayinya. Abdullah, sang suami, merasakan ketidaknyamanan Aminah dan berusaha menolong dengan menyediakan bagi Aminah layanan budak wanita bernama Barakat.

Tapi, kemalangan menaungi mereka, suami Aminah mati ketika dia mengandung sekitar enam bulan. Tragedi ini menambah kebenciannya terhadap anak yang dikandungnya. Dia menganggap bayi yang dikandungnya itu sebagai pembawa sial. Dia takut kesialan lain akan menimpanya setelah dia melahirkan bayinya ini.

Saat mati, Abdullah diketahui mempunyai lima ekor onta, beberapa ekor kambing dan seorang budak wanita asal Ethiopia bernama Barakat.

Tidak mampu melakukan apapun juga untuk menghilangkan takutnya, dia membiarkan janin tersebut hingga siap untuk melahirkan seorang bayi laki-laki. Ketika waktunya tiba, dia melahirkan bayi laki-laki tanpa kesulitan.

Aminah menyebut bayinya Kothan, tapi kakeknya mengubahnya menjadi Muhammad dikemudian hari (lihat Buku R.V.C. Bodley, “The Messenger”, hal 6).

Berlawanan dengan kepercayaan umum, Muhammad bukanlah sebuah nama muslim; malah, itu adalah nama kaum berhala Arab yang telah digunakan bahkan sebelum kelahiran penemu Islam.

Secara genealogis, Muhammad dianggap keturunan Ismail, yang seperti disebut dalam Alkitab, adalah anak tidak sah dari Ibrahim, yang lahir dari Hagar, seorang pembantu dari Mesir bagi istrinya, Sarah (Kitab Kejadian 16:1-15). Anak inilah, yang oleh mayoritas Muslim dipercaya sebagai anak yang dikorbankan setelah diperintahkan Allah dalam mimpinya pada Ibrahim, yang sebagai imbalannya, mendapat julukan “Zabi-Ullah”, yakni “yang dikorbankan dalam nama Allah” – bukan anak resminya, Iskak, seperti yang dinyatakan dalam kitab Kejadian orang Kristen.

Tanggal pasti kelahiran Muhammad tidak diketahui dulu maupun sulit dipastikan sekarang. Pendapat para Ulama berbeda-beda dalam hal ini. Phillip K. Hitti berkata bahwa dia dilahirkan sekitar 571 M (History of the Arabs, hal 111). Abdullah Yusuf Ali berkeras, “tahun yang selalu diberikan untuk kelahiran sang Nabi adalah 570 M, meski tanggalnya harus dikira-kira, jadi angkanya adalah antara 569 dan 571, kemungkinan batas paling ekstrim.” (Quran, V.2, hal 1071).

Walau tahun kelahirannya Muhammad misterius, Muslim tetap menetapkan bahwa dia lahir dijam-jam awal pada hari Senin, hari ke-29 bulan Agustus, 570 AD (Lihat Ghulam Mustafa, Vishva Nabi, hal 40). – Sebuah perayaan yang mereka rayakan dengan pawai riuh. Namun faktanya tetap: tahun kelahiran Muhammad tidak ditetapkan berdasarkan bukti-bukti sejarah yang dapat dipercaya. Perayaan kelahiran Muhammad, dengan begitu, tidak berdasarkan sumber-sumber kuat Islam namun hanya berdasarkan tradisi.

Saat kelahiran Muhammad, orang-orang Arab hidup dalam kemerosotan moral. Perkawinan dikalangan Arab cuma dinama saja, mereka lebih suka mengejar hubungan di luar nikah. Dalam subjek zinah dari Arab ini, Maxime Rodinson mengutip Rabbi Wathan:

Tidak ada tempat lain didunia yang dapat menandingi kecenderungan akan perzinahan diantara orang-orang Arab, seperti juga tidak ada kejayaan lain seperti kejayaan Persia, atau kekayaan lain seperti kekayaan Romawi, atau kekuatan magis seperti yang dimiliki Mesir. Jika semua selingkuh seksual diseluruh dunia dibagi menjadi sepuluh bagian, sembilan bagian akan dibagikan diantara orang-orang Arab dan cuma satu bagian cukup bagi bangsa2 lainnya (Muhammad, hal 54).

R. V. C Bodley diam-diam setuju dengan Wathan, dan berkata:
Terdapat seseorang bernama Amr Ibn al-As, anak pelacur cantik dari Mekah. Semua orang Mekah cantik adalah teman-temannya, juga yang lainnya, mulai Abu Sofyan kebawah, bisa jadi adalah ayahnya Amr. Atau bisa juga dengan yakin kita panggil dia Amr Ibn Abu Lahab atau Ibn al Abbas atau Ibn yang lainnya diantara 10 orang-orang Koreish kelas atas. Menurut standar Mekah saat itu, tidak masalah siapa ayahnya (dalam bukunya, “The Messenger”, hal 73).

Menurut sejarawan, Muhammad lahir dalam periode ini dari salah satu dari ke 10 orang keluarga kelas atas Quraish di Mekah. Bagi orang-orang ini, tidak masalah siapa jadi ayah siapa. Semua anak yang lahir dalam kondisi ini harus selalu menghadapi pertanyaan mengenai sah tidaknya kehamilan ibunya!

Bukannya menyayangi anaknya sebagai layaknya seorang ibu, Aminah terus melampiaskan kebencian pada bayi yang baru dilahirkannya. Ia menolak menyusuinya, bahkan saat bayi itu lapar.

Melihat penderitaan anak tersebut, Thuwaibah, budak wanita dari anak pamannya Abu Lahab, mengambil tanggung jawab untuk menyusuinya selama beberapa hari (Lihat Adil Salahi, “Muhammad: Man and Prophet”, hal 23) sampai ditemukan orang lain yang mau memeliharanya dengan permanen.

Dalam periode kelahiran Muhammad, kaum Bedouin yang miskin biasanya datang berkelompok dari waktu ke waktu, ke Mekah untuk mendapatkan zakat dari kaum yang mampu. dengan mengikuti tradisi ini, Halimah, seorang wanita penggembala Saadite, datang dan mengetuk pintu rumah Aminah. Karena dia sendiri janda miskin, Aminah tidak punya apapun untuk diberikan pada Halimah; malah dia berharap dapat melepas bebannya dengan memberi bayi yang baru dilahirkannya itu kepada Halimah.

Halimah kaget, karena, dalam penilaiannya, tidak ada seorang ibupun yang akan mau membuang bayinya seperti yang dilakukan Aminah. Setelah tahu situasinya, Halimah, yang awalnya, menolak menerima bayi tersebut, tapi ketika dia mempertimbangkan fakta bahwa dia dalam waktu yang tidak lama lagi akan mempunyai sepasang tangan baru untuk menolong keluarganya dari kondisi menyedihkan ini, dia ambil bayi tersebut dan membawanya pulang kerumahnya.

Suku Halimah tinggal disalah satu lembah padang rumput diutara Arabia. Meski mereka miskin, mereka bersifat pemberani dan pekerja keras. Tidak seperti orang-orang dari suku Quraish, orang-orang dari suku Saadite mahir menggunakan pedang dan tombak. Kecekatan mereka dengan pedang dan tombak selalu memberi mereka kemenangan dalam pertempuran- pertempuran yang hampir mereka hadapi terus menerus, untuk bertahan dalam kondisi ganas ini.

Orang-orang suku Saadite juga memiliki bahasa Arab yang paling halus dari seluruh Arabia. Kesamaan bahasa Quran dengan bahasa Arabnya Saaditic adalah indikasi bahwa penulis Quran pastilah dari kaum Saadite, atau bahwa dia mestilah pernah tinggal diantara mereka bertahun-tahun.

Seluruh populasi semenanjung Arab percaya akan adanya malaikat. Mereka juga percaya bahwa malaikat suka mengunjungi orang-orang yang ditakdirkan untuk menerima hadiah khusus dari Allah. Makhluk dewa ini hidup didalam dan sekitar Kabah bersama dengan ke 359 dewa lainnya. Karena orang-orang Arab percaya akan kedekatan malaikat dengan Allah, banyak dari mereka yang memuja mereka dengan harapan jika mereka senang, sang malaikat akan tidak sulit meyakinkan Allah untuk mengaruniai mereka berkat yang akan mengakhiri penderitaan mereka yang tiada akhir.

Anak Halimah, Masrud, hampir seumur dengan Muhammad. Dia mulai membesarkan kedua bayi tersebut dengan sungguh-sungguh. Dia menyusui keduanya dan menyayang keduanya dengan sama. Dia berharap suatu hari keduanya akan tumbuh dan menyediakan baginya pertolongan yang selalu dia perlukan untuk membuat hidupnya lebih nyaman.

Halimah sering memikirkan masa depan Masrud, anak kandungnya sendiri. Halimah adalah produk masyarakat Bedouin; pengalamannya meyakinkan dia bahwa betapapun kerasnya ia bekerja dan betapapun berani anaknya ini, kegersangan dan kondisi padang pasir tidak akan pernah bisa memberinya kesempatan untuk hidup nyaman, bahkan kehidupan seperti yang dicapai oleh orang-orang Mekah sekalipun. Oleh karena itu dia ingin agar anaknya pergi ke Mekah agar dapat memperbaiki hiddupnya.

Tapi bagaimana dia bisa mengirim anaknya ke Mekah? Dia terus bertanya-tanya tentang hal ini.

Halimah berpikir dan berpikir. Bermalam-malam ia tidak tidur memikirkan hal ini, bahkan disiang haripun, pikirannya selalu dipenuhi oleh pikiran ini: bagaimana memasukkan Masroud kedalam masy Mekah.

Akhirnya ia punya ide! Bagaimana kalau ia mengembalikan ‘Muhammad’ pada ibunya? Ia bisa menukar Masrud dengan Muhammad, dan tidak ada orang yang akan mengetahuinya! Aminah pasti tidak akan curiga.

Puas dengan rencana ini, Halimah mulai mengimplementasikannya. Pertama-tama, dia perlu membiasakan memanggil Muhammad dengan Masrud, dan Masrud dengan Muhammad. Awalnya, kedua anak itu kelihatan binging, tapi setelah beberapa lama, mereka terbiasa akan perubahan ini, perubahan yang nantinya terbukti fatal bagi wajah bumi ini.

Langkah kedua untuk rencana ini, Halimah perlu meyakinkan Aminah agar mau menerima kembali ‘anaknya’ itu. Skenarionya ini tidak hanya cocok bagi kepercayaan tua kaum berhala, tapi juga akan melunakkan tabiat Aminah yang benci kesumat terhadap anaknya. Dan skenario yang paling baik adalah membuat Aminah percaya bahwa anaknya sungguh-sungguh berbakat tinggi.

Tidak lama kemudian, Muhammad (Masrud) menginjak tahun kelima hidupnya, Halimah mulai memberitahu semua orang yang ditemuinya betapa pandainya anak angkatnya dia. Dia paling girang menceritakan pertemuan anaknya dengan dua malaikat yang mengelilinginya setiap hari, katanya, yang bahkan dilihat oleh anaknya sendiri, Masroud, dengan mata kepalanya sendiri.

Ketika didesak agar menceritakan dengan rinci, Halimah selalu menceritakan bahwa satu hari, Masrud dan Muhammad sedang bermain dilapangan. Sementara mereka asyik bermain, tiba-tiba, dua malaikat muncul dihadapan Muhammad.

Mereka merebahkannya ditanah, dan malaikat Jibril, salah satu dari kedua malaikat ini, membelah dua hati si anak. Dibersihkannya hati Muhammad dari kotoran dosa asal; dari hati itu menetes tetesan hitam dan pahit yang diwariskan kakek moyang kita, Adam, dan yang bersarang dalam hati setiap keturunannya, yang selalu mendorong mereka untuk berbuat dosa. Jadi sejak kanak-kanak, Muhammad sudah di-detox dari dosa dan Jibril malah mengisi hatinya dengan iman dan pengetahuan dan sinar nabi, dan mengembalikan pada dadanya.

Selama kunjungan malaikat ini, kata Halimah membual, para malaikat sangat terkesan akan tanda kenabian dipunggung Muhammad alias tompel di punggung! Untuk membuktikan klaimnya, dia suka membuat Muhammad membuka bajunya didepan orang-orang yang meragukan kewarasannya agar melihat dengan mata mereka sendiri tanda yang ada diantara bahunya.

Halimah terpaksa memakai taktik licik ini untuk menyembunyikan masalah yang serius: anak yang dilahirkan Aminah tidak mempunyai tompel dipunggungnya; sedang Masrud punya tanda lahir yang jelas diantara pundaknya (di punggung). Sekarang jika Halimah tidak menciptakan kisah malaikat ini yang, dia akui, terkesan akan tubuh Muhammad dengan “tanda kenabiannya”, seluruh tipuannya akan roboh, dan hasratnya untuk menanamkan anaknya dirumah Aminah juga akan hancur.

Akhirnya, Halimah membawa Muhammad (Masrud) ke Mekah dan mencoba untuk mendudukkan Muhammad dipangkuan Amina. Melihat keengganannya, Halimah menceritakan pada Aminah semua yang terjadi pada Muhammad, termasuk cerita-cerita malaikat dan tahi lalat dipunggungnya. Perlahan-lahan, luluh oleh cerita Halimah, Aminah mengambil kembali anaknya.

Halimah kembali kerumahnya digurun, puas karena dia berhasil menempatkan anaknya disebuah rumah di Mekah dimana dia akan tumbuh menjadi laki-laki yang nanti mudah-mudahan makmur.

Muhammad (alias Masrud) tinggal dengan Aminah hingga umur 6 tahun, meski sering tidak bertemu Halimah, ibu kandungnya. Dia bermain dengan anak-anak sekitarnya; memperhatikan para peziarah berdoa di Kabah dan menyambut para karavan yang berhenti di kota sebelum meneruskan perjalanan ke kota dagang tujuannya. Semua aktivitas kota membuatnya kagum, ini sangat berbeda dari tempat dia lahir.

Meski tadinya membenci anaknya, Aminah memperlakukan Muhammad dengan baik. Dia memberinya makanan, pakaian dan melayani keperluannya sebisanya. Dia juga mengajaknya berkeliling kota dan memperkenalkannya pada kerabat-kerabatnya.

Setelah beberapa bulan di Mekah, Aminah membawa Muhammad ke Medinah dan memperkenalkan dia pada kerabat dari pihak suaminya disana. Dalam perjalanan pulang, dia meninggal dan dimakamkan di Abwa, sebuah dusun yang terdapat antara Medinah dan Mekah. Barakat, budak perempuannya, sekarang berlaku sebagai ibu dari anak yatim piatu ini dan mengantarkannya pada kakeknya, Abd al Mutallib dimana ia tinggal dirumah tersebut selama tiga tahun.

Bersambung ke BAGIAN DUA

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Comments

  • abu mush'ab al arkhabily  On 2 December 2015 at 09:04

    Dari awal aja udh g lengkap
    Muhammad itu artinya yg terpuji,bukan nama berhala
    Terus sejarah dan mukjizat air zamzam mana nih koq g dibahas???
    Peristiwa gajah nya mana euy???
    G lengkap bgt sih
    Takut klo kebenaran dan kebaikan ISLAM terungkap y???
    ALLAHU AKBAR

Blog ini hanya membahas tentang ISLAM. Jika Anda berkomentar selain daripada Islam, insyaallah akan mendapat azab dari Admin yaitu DIHAPUS tanpa peringatan. Silahkan memberi komentar sesuai isi artikel. Wassalam.