Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi kedua tertinggi dengan 14 kali melakukan pelanggaran. Sementara, laporan yang menggunakan nama “ormas Islam” menduduki peringkat ketiga dengan 7 kali melakukan pelanggaran.
“Sebenarnya, laporan yang mendapatkan suara paling banyak adalah dengan mengatasnamakan ‘warga’ dengan 65 kali melakukan pelanggaran,” lanjut Bonar.
Namun Bonar menjelaskan, yang dimaksud warga di sini adalah bukan warga sungguhan. Mereka juga anggota ormas islam seperti FPI dan MUI yang mengatasnamakan dirinya sebagai warga biasa saat melakukan tindakan intoleran.
Mereka, menurut Bonar, kerap mencopot identitas asli mereka sehingga sulit dikenali oleh masyarakat. Mereka bahkan tidak jarang menggunakan atribut-atribut lainnya untuk menutupi jati diri mereka itu. “Misalnya FPI banyak yang menyamar, mengatasnamakan diri sebagai masyarakat anti gereja ini, gereja itu, banyak lah modus mereka,” jelas Bonar.
Sementara, bentuk-bentuk tindakan pelanggaran yang paling banyak dilakukan di kategori non-negara ini adalah Intoleransi dengan 39 tindakan pelanggaran. Penyesatan berada di urutan kedua dengan 14 kali tindakan. Ancaman kekerasan berada di urutan ketiga dengan 11 kali tindakan.
Pelanggaran berupa perusakan properti dan diskriminasi berada di urutan keempat dan kelima dengan sembilan kali tindakan. Pelarangan kegiatan ibadah ada di urutan keenam dengan delapan kali tindakan. Sementara, pembubaran kegiatan agama, perusakan tempat ibadah dan penyerangan berada di urutan selanjutnya dengan tujuh kali tindakan. Jenis tindakan sisanya, dilakukan sebanyak lima kali ke bawah.
“Kelompok-kelompok seperti ini, kalau tidak ada hukuman tegas dari penegak hukum, akan terus menerus melakukan perbuatannya. Akhirnya masalah ini hanya menjadi lingkaran setan saja dan tidak pernah akan selesai,” pungkas Bonar. •